BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setelah reformasi mei 1998 berhasil
menjungkalkan pemimpin otoriter Soeharto, gaung demokrasi kembali terungkap
kepermukaan. Salah satunya mengubah konstitusi yang diantaranya mengenai
pemilihan kepala daerah. Adapun misi yang ingin dibangun dalam reformasi
konstitusi ini, yakni mengembalikan semangat undang-undang dasar 1945,
khususnya pasal 18 ayat 3 “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum. Dan ayat 4 “Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis”.
Misi tersebut direspon dan dikonsepkan
melalui undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang
didalamnya mengamanatkan antara lain “kepala daerah dipilih secara demokratis
oleh dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari rakyat”. Sehingga
undang-undang nomor 22 tahun 1999 menganut sistem parlementer kaitannya dengan
pemilihan kepala daerah.
Setelah berjalan satu periode, ternyata
terjadi berbagai tuntutan dari banyak pihak yang menuntut terselenggaranya
pemilihan langsung oleh rakyat sendiri. Tuntutan ini terjadi karena sistem
perwakilan dianggap tidak demokratis. Pasalnya sistem ini justru menghasilkan
konspirasi elite poitik, dimana para wakil rakyat dengan mengatasnamakan rakyat
telah menyalahgunakan wewenang mereka sebagai penyambung lidah masyarakat,
bahkan dianggap tidak merepresentasikan masyarakat yang diwakilinya.
Dari kelemahan diatas, maka
undang-undang nomor 22 tahun 1999 direvisi melalui undang-undang nomor 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah, dalam undang-undang ini membawa perubahan
yang sangat signifikan dalam dinamika politik lokal. Diantaranya, pemilihan
kepala daerah dilakukan secara langsung oleh masyarakat sebagai bagian dari
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Harapannya dengan adanya pemilihan
langsung kepala daerah, masyarakat tidak lagi hanya sekadar penikmat atau
bahkan korban dari segala kebijakan yang diterapkan pemerintah, melainkan juga
secara langsung terlibat dalam memilih dan menetukan pemimpin yang layak
menurut pandangan masyarakat itu sendiri. Disinilah letak perubahan mendasar
antara sistem pemilihan kepala daerah menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999
dan undang-undang nomor 32 tahun 2004. Demokrasi langsung yang melibatkan
masyarakat dalam pemilihan langsung kepala derah tertuang melalui undang-undang
nomor 32 tahun 2004 sebagai cikal bakal lahirnya pilkada secara langsung.
Seperti yang kita ketahui selama ini terjadi pemilihan kepala daerah diberbagai
daerah, baik provinsi, kabupaten / kota.
Pemilihan langsung yang berjalan selama
ini, secara konseptual sudah dianggap baik, karena telah menghadirkan
partispasi langsung dari masyarakat untuk memilih pemimpinnya. Pilkada langsung
memungkinkan adanya interaksi langsung antara masyarakat dan pemiminnya. Selain
itu, dengan adanya pemilihan langsung kepala daerah ini akan mengalihkan
pandangan kandidat kepala daerah yang selama ini hanya berusaha menarik
perhatian dari dewan perwakilan rakyat agar mendapat dukungan, namun sekarang
beralih pada masyarakat kecil sebagai pemilih demi mendulang dukungan
masyarakat.
Prinsip ini akan secara alimiah
bergeser menyusul perubahan paradigma dalam tatanan kehidupan sosial-politik
masyarakat. Namun, pemilihan langsung kepala daerah tidak bebas dari berbagai
noda hitam yang menghiasi lembaran suram negara indonesia. Hal ini ditengarai
adanya berbagai permasalahan baru yang terjadi dalam perhelatan akbar di daerah
tempat berlangsungnya pemilihan kepala daerah. Noda ini tak lepas dari proses
politik yang terjadi dikalangan elite yang bersaing bahkan masyarakat itu
sendiri sebagai pemilih.
Apa yang terjadi diatas dapat dimaklumi
karena elite lokal ataupun masyarakat indonesia mengalami culture shock,
karena perubahan yang signifikan dari sistem pemilihan kepala daerah yang
terjadi pada pilkada sebelumnya. Meskipun demikian, pemilihan langsung kepala
daerah selama ini sedikit tidaknya telah mengahadirkan demokrasi ditingkat
lokal dengan melibatkan partisipasi langsung masyarakat dalam pemilihan kepala
daerah.
Pemilihan kepala daerah secara langsung
juga merupakan wujud dari desentralisasi politik (devolusi) dan impelmentasi
dari demokrasi ditingkat lokal. Hal ini guna merealisasikan amanat
undang-undang dasar yang menghendaki pemeilihan kepala daerah melalui pemilihan
umum dan demokratis.
Meskipun pemilihan kepala daerah secara
demokratis melalui undang-undang nomor 22 tahun 2004 telah dilaksanakan.
Demokrasi ditingkat lokal belum dianggap sempurna, karena demokrasi itu hanya
dimiliki oleh dewan perwakilan rakyat daerah (elite-elite lokal). Dan dari
permasalahan ini, maka laihirlah UU no. 32 tahun 2004 sebagai revisi atas UU
no.22 tahun 1999.
Keluarnya UU 32 tahun 2004 menjadi
acuan adanya pilkada langsung yang berjalan mulai tahun 2005 hingga sekarang
(masih dalam perdebatan untuk perubahan). Setelah dua periode berjalannya
undang-ungdang ini, ternyata menghadirkan permasalahan yang sangat kompleks.
Mulai dari elite politik pusat, daerah bahkan dalam masyarakat di daerah. Untuk
itu, perlu kita membahas apa saja permasalahan yang timbul dan berbagai dampak
yang diakibatkan UU 32 tahun 2004 dalam rangka “Desentralisasi Politik Dalam
Pilkada langsung”, berikut ini.
B.
Identifikasi Masalah
1.
Apa yang melatarbelakangi perhelatan
pilkada langsung?
2.
Apa perubahan mendasar dari kebijakan
desentralisasi dalam hal pilkada langsung?
3.
Bagaimana implementasi dan intervensi
kebijakan desentralisasi politik melalui pemeilihan kepala daerah secara
langsung?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Desentralisasi Politik (Devolusi)
Menurut undang-undang nomor 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah (dalam bab I ketentuan umum, pasal 1 : 8).
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem
negara kesatuan Republik Indonesia (Karnadi, 2004 : 1).
Dari penjelasan diatas, penulis pahami
bahwa desentaralisasi merupakan proses penyerahan urusan pemerintahan daerah
oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Artinya, berkaitan dengan
urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah diberikan kepada pemerintah di
daerah dan masyarakat lokal. Dalam hal desentralisasi politik, pemerintah
memberikan keleluasaan bagi elit politik di daerah untuk berkompetisi sesuai
dengan aturan yang berlaku.
B.
Pilkada Langsung
Pilkada langsung adalah pengamalan dari
demokrasi yang secara konstitusional; masalah desentralisasi dalam
pemilihan langsung kepala daerah secara demokratis telah tertuang dalam pasal
18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Dinyatakan bahwa : “Gubernur, bupati,
wali kota sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten/kota, dipilih secara
demokratis”. Selanjutnya dalam ayat (7) Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah
diatur dalam undang-undang”. Sebagai derivasi ayat tersebut ditetapkanlah
UU Nomor 32/2004.
Ia menambahkan, dalam konstitusi tidak
satu pun norma yang secara tegas menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara
langsung, sehingga pemilihan kepala daerah diserahkan para pengubah konstitusi
dalam bentuk aturan pelaksanaan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat daerah, yakni dalam bentuk undang-undang. Arti demokratis dalam
konstitusi merupakan pedoman penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang harus
berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi, baik demokrasi langsung maupun
demokrasi perwakilan.
Karena tidak secara eksplisit diungkapkan
dalam undang-undang dasar, bentuk demokrasi dalam pemilihan kepala daerah, maka
pasca reformasi diterapkan sistem pemilihan yang diwakili oleh dewan perwakilan
rakyat ( demokrasi perwakilan). Dan setelah mempraktekkannya, ternyata dianggap
kurang demokratis, maka lahirlah undang-undang nomor 32 tahun 2004 sebagai
revisi atas undang-undang sebelumnya. Jadi sesungguhnya demokrasi dalam UUD
1945 tidak dimaknai sebagai demokrasi langsung melainkan demokrasi perwakilan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, pemilihan kepala daerah merupakan suatu
proses penyeleksian (bukan eleksi) sehingga pengertian demokratis dalam
pemilihan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam konstitusi merupakan
demokrasi perwakilan, bukan demokrasi langsung (BPHN: 2009). Hal tersebut
tampak pada pengaturan Pasal 109 ayat (3) UU Nomor 32/2004 yang menyatakan
bahwa 'Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD
provinsi, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih
dari KPU provinsi untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.
Untuk calon bupati dan wakil bupati
berlaku ketentuan Pasal 109 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32/2004, bahwa,
'Pasangan calon bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota
diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga)
hari, kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur berdasarkan berita acara
penetapan pasangan calon terpilih dari KPU kabupaten/kota untuk mendapatkan
pengesahan pengangkatan.
Dengan demikian, demokrasi yang
dimaknai dalam undang-undang dasar 1945 khususnya pasal 18 ayat (4) lebih
dimaknai sebagai demokrasi perwakilan, seperti yang tertuang dalam
undang-undang nomor 22 tahun 1999, yang kemudian direvisi melalui undang-undang
nomor 32 tahun 2004 ( leo agustino 2009 ; 77).
Dalam hal pembuatan undang-undang
pemilihan kepala daerah, Mujiono menegaskan bahwa “Undang-undang dasar 1945
merupakarn konstitusi atau dasar hukum yang memberikan legal concequence
sehingga materi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berada
dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan materi UUD 1945. Materi-materi
tentang penyelenggaraan pemerintahan yang terdapat dalam UUD 1945 harus
“diterjemahkan” dalam undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP), peraturan
pementah pengganti undang-undang (perpu), dan sebagainya. Pasal-pasal dalam UUD
1945 tersebut harus menjadi rujukan utama aau konsider bagi pembuatan produk
perundangan tersebut”. (widyohari, 2006 : 46). Adapun pasal-pasal yang mengatur
tentang penyelenggaraan pemerintahan sebagai berikut: UU no. 32/2004, yang mengatur
tentang pilkada langsung itu, menggunakan rujukan atau konsider antara lain ;
UUD 1945 pasal (1) “ negara indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik”. Pasal (1) ayat 2, “ kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Pasal (18) ayat 4, “gubernur,
bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi,
kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Dengan landasan pasal-pasal
tersebut diatas memang belum mempertemukan antara kedaulatan ditangan rakyat
dan pemilihan kepala daerah secara demokratis, dengan konsep pemilihan langsung
pemimpin daerah oleh masyarakat. Namun, karena dalam konsep negara demokrasi
yang menganut sistem presidensial (seperti amerika serikat) menganut demokrasi
langsung, maka indonesia sebagai negara yang baru kembali mencari format yang
ideal dalam penyelenggaraan pemerintahan menganut asas pemilihan langsung,
asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dasar 1945 sebagai rujukan bagi
produk undang-undang berikutnya
Dengan demikian secara yuridis-formal,
penyelenggaraan pilkada langsung berdasarkan undang-undang nomor 32 tahun 2004
berlandaskan UUD 1945, artinya pelaksanaan undang-undang ini memiliki kekuatan
konstitusional dan wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, istilah
“ kedaulatan berada ditangan rakyat” dalam pasal (1) ayat 2 dan “ secara
demokratis” dalam pasal (18) ayat 4 merupakan dasar konstitusi yang kuat bagi
pilkada langsung.
Akhirnya, sesuai dengan penjelasan
diatas, UU No. 32 / 2004 dan Peraturan pemerintah nomor 6 tahun 2005
tentang pemilihan secara langsung kepala daerah, merupakan keputusan hukum yang
harus dilakukan. Pemilihan langsung yang menggunakan asas-asas langsung, umum,
bebas, jujur, adil dan rahasia. Dapat disebut sebagai sistem rekrutmen pejabat
publik yang hampir memenuhi prinsip-prinsip demokratis. Karena menggunakan
mekanisme pemilihan umum yang teratur, memungkinkan terjadinya rotasi
kekuasaan, dan mekanisme rekrutmen dilakukan secara profesional, terbuka serta
terciptanya akuntabilitas publik.
C.
Implementasi konsep Pilkada
Langsung
1. Perubahan Peran Dan Locus Politik Lokal
Kita tentu mengingat seputar
permasalahan yang muncul dalam masalah pilkada pada masa perwakilan (sesuai
dengan UU no. 22 tahun 1999). Dimana para elite politi atau dewan perwakilan
rakyat daerah berkonspirasi dengan kandidat kepala daerah untuk memenangkan
pemilihan kepala daerah. Konspirasi ini hadir dalam bentuk dukungan politik
yang ditopang oleh politik uang yang menghiasi pemilihan kepala daerah. Dengan
dalih mewakili rakyat, anggota-anggota DPRD melakukan lobby politik
untuk memenangkan kandidat tertentu. Istilahnya siapa yang banyak uang dan
sanggup membayar DPRD maka dialah sebagai pemenangnya.
Apa yang terjadi diatas adalah gambaran yang terjadi
sebagai konsekuensi logis dari undang-undang nomor 22 tahun 1999, dimana DPRD
diberikan wewenang yang sangat kuat dalam hal pemilihan kepala daerah. Namun
dengan direvisinya undang-undang tersebut melalui undang-undang nomo 32 tahun
2004, kewenangan dewan perwakilan rakyat daerah telah dipangkas. Dari
undang-undang nomor 32 2004 inilah yang menempatkan masyarakt sebagai kekuatan
politik yang sangat strategis dalam membangun kekuasaan.
Selain hal tersebut diatas, perhatian
kandidatkepala daerah yang cenderung lebih kepada dewan perwakilan rakyat
daerah, kian beralih kepada masyarakat sebagai aktor penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Meskipun peran dewan perwakilan rakyat daerah
tetap menjadi kekuatan penting dalam pembuatan regulasi di daerah.
Muhamad Asfar (2006) mengungkapkan
bahwa sejak juni 2005 penyelenggaraan pemerintah dan politik ditingkat lokal
mengalami pergeseran, bahkan perubahan yang sangat signifikan. Jika, sebelumnya
kepala daerah dipilih melalui lembaga perwakilan di daerah atau dewan
perwakilan rakyat daerah, kini sudah secara langsung masyarakat memilih kepala
daerahnya melalui proses pimilihan langsung kepala daerah (pilkada).
Rakyat yang sebelumnya menjadi
penonton, tiba-tiba berubah menjadi pelaku dan penentu. Anggota DPRD yang
sebelumnya memiliki kewenangan besar dalam penentuan pemilihan kepada daerah,
tiba-tiba hanya “duduk manis” menjadi penonton dipinggir lapangan. (Kacung
Marijan;2006;1).
Perubahan tersebut diatas menghadirkan
cara baru dalam proses pemilihan kepala daerah. Perubahan itu terjadi
ditingkatan elite dan rakyat sendiri sebagai tujuan dari terbentuknya pemerintahan.
Perubahan ditingkat elite, khususnya di dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD),
ada kesan sebagian elite partai politik kurang bisa menyesuaikan diri dengan
proses politik di daerah tersebut. Persoalan mendasar terutama berkaitan dengan
hilangnya kewenangan anggota DPRD dalam menentukan kepala daerah. Pengalaman di
masa lalu menunjukkan, proses pemilihan kepala daerah selalu dibarengi dengan
isu politik uang (money politics).
Bila isu tersebut diatas benar adanya,
maka akan terjadi peruhan locus politik uang dalam rangka penyelenggraan
pemilihan kepala daerah. Proses politik terdahulu melibatkan anggota DPRD
sebagai locus politik uang, karena disinyalir mereka sebagai pemilih dan
penentu kepala daerah mendapat “sogokan politik” dari calon pemimpin daerah
yang sedang berkompetisi.
Sedangkan dalam pemilihan langsung ini
menghadirkan cara baru tentunya, dahulu yang locus politiknya berbasis
ditingkatan elite, kini bergeser hingga pada masyarakat kecil sebagai pemilih
dan penetu kepala daerah. Meskipun demikian, isu-isu money politics di
tingkat elit ternyata tidak hilang dengan adanya pilkada langsung. Proses
menjadi kepala daerah, terutama calon yang berasal dari luar partai, ternyata
melibatkan putaran uang yang cukup banyak bahkan miliaran rupiah.
Adapun proses politik uang terjadi
dihampir semua daerah yang melakukan pilkada. Para kandidat melakukan politik
uang dan itu dilakukan hampir semua kandidat yang bersaing. Meskipun secara
normative (sesuai dengan Undang-undang dan aturan Pilkada) sulit dibuktikan
sebagai bentuk money politics, namun secara konseptual sebenarnya bisa
di katagorikan sebagai money politics.
Modus dari money politics ini
macam-macam, mulai dari dalam bentuk sumbangan tidak mengikat seperti bantuan
dalam bidang keagamaan, berupa ; sumbangan pada masjid, mushollah, pesantren.
Dalam bidang sosial sperti ; pembangunan sekolah, bantuan bencana, kemiskinan,
dan aksi solidaritas lainnya. Hingga pemberian secara terang-terangan untuk
mencari dukungan seperti pembagian baju, sarung, pin, dan sebagian bergambar
yang ada nama pasangan calon. Bahkan tidak jarang pembagian itu juga dalam
bentuk uang tunai.
2. Kendala Dan Permasalahan Pilkada
Setelah terlaksananya pemilihan kepala
daerah secara langsung yang marak terjadi berkisar tahun 2005 hingga
2008. Menurut hasil penelitian dari berbagai institusi dan elemen
masyarakat, mengadakan evaluasi kritis terhadap penyelenggaraan pilkada
langsung. Evaluasi ini seputar permasalahan yang timbul pada saat pilkada telah
dilaksanakan. Adapun berbagai permasalah itu diantaranya, seterti berikut ini ;
1.
Independensi Penyelenggara Pilkada
(KPUD).
Komisi pemilihan umum daerah (KPUD),
merupakan instrumen terpenting dalam penyelenggaraan pilkada. Pasalnya,
KPUD merupakan kunci kesuksesan pilkada. Dalam hal penyelenggaraan pilkada
secara langsung. KPUD dihadapkan pada tiga permasalahan penting,
1.
kemampuan regulatif KPUD,
2.
kemampuan distributif KPUD,
3.
tata kelola pilkada yang dilakukan KPUD.
Kemampuan regulatif, berhubungan dengan
pemehaman dan implementasi KPUD terhdap berbagai regulasi yang berhubungan
dengan pilkada. Dalam melaksanakan berbagai peraturan pilkada langsung,
berbagai permasalahan banyak yang timbul dalam menjalankan regulasi pilkada,
diantaranya ;
1.
KPUD tidak independen dalam menjalankan pilkada, sehingga
ketidaknetralan para penyelenggara pilkada ini menimbulkan berbagai aksi protes
dari massa yang menghendaki adanya independensi KPUD, demonstrasipun tidak
terhelakkan yang bahkan berpuncak pada tuntutan pemecatan anggota KPUD.
2. KPUD berhadapan
dengan problem prosedural pilkada. KPUD yang cenderung berpikir teknokratis
mengakibatkan pelaksanaan pilkada semata-mata hanya dilakukan sesuai prosedur.
Sehingga terjadi masalah yang merugikan pemilih, dalam hal ini dapat kita lihat
dari adanya kisruh daftar pemilih tetap (DPT). Hampir semua daerah yang
melakukan pemilihan langsung kepala daerah mengalami masalah yang sama. Tetapi
substansi pilkada itu sendiri tidak terlalu menjadi perhatian, misalnya ; KPUD
mengakomodasi hak politik warga masyarakat untuk menjadi peran sentral dalam
penyelenggaraan pilkada langsung. Sebab itulah tujuan awal dari penyelenggaraan
pilkada langsung agar masyarakat terlibat langsung dalam rangka penguatan demokrasi
lokal.
3. KPUD melakukan
politisasi regulasi pilkada, politisasi regulasi pilkada yang dilakukan
anggota KPUD karena intensitas hubungan mereka dengan pasangan calon kepala
daerah. Adapaun intensitas tersebut hadir dari berbagai jalur kepentingan antara
calon kepala daerah dan partai politik yang mengusung kandidat. Instrumen
pendukung lain adanya politisasi regulasi ini karena ditengarai adanya faktor
kekerabatan, pertukaran uang, dan janji kedudukan yang diiming-imingkan.
4. Adanya kelalaian KPUD dalam penyelenggaraan pilkada yang dilakukan secara
lagsung. Seperti terjadinya berbagai pelanggaran
yang dilakukan kandidat yang bersaing.
Kemampuan distributif, berhubungan
dengan kapasitas KPUD dalam mengalokasikan alat-alat dan kelengkapan pilkada
tepat waktu dan sesuai dengan kebutuhan pemilih. Dalam distribusi berbagai alat
perlengkapan pilkada langsung.
1.
Dalam penyelenggaraan pilkada secara
langsung distribusi perlengkapan pilkada tidak didistribusikan sesuai dengan
waktu dan tempat.
2. KPUD kurang
cermat dalam melakukan penelitian dan ferifikasi penetapan pasangan calon
kepala daerah yang betarung didalam pilkada.
3. KPUD dalam
pengumuman penetapan calon kepala daerah mengundur-undur waktu. Pengunduran
terjadi karena berpedoman terhadap regulasi yang ada kurang memungkinkan
terjadinya akomodasi terhadap aspirasi masyarakat lokal.
4. KPUD tidak
sigap dalam menyikapi permasalah pelanggaran dalam kampanye para kandidat.
Akibatnya, demokrasi lokal tercoreng oleh barbagai pelanggaran ini, yang
berimplikasi pada kerugian banyak bagi kandidat lainnya.
5. KPUD
menyelenggarakan pilkada tidak tepat pada waktunya, dimana waktu
penyelenggaraan pilkada molor dari waktu yang telah ditetapkan.
Kemampuan tata kelola pilkada
(management pilkada), berhubungan dengan kemampuan responsif, transparansi dan
akuntabilitas KPUD dalam menjalankan pilkada langsung.
1. Akuntabilitas penyelenggaraan pilkada, hal ini diamanatkan undang-undang
nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu dalam UU no. 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah, KPUD wajib memberikan laporan pertanggungjawaban
penyelenggaraan pilkada kepada dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Dan
terkadang terjadi kisruh antara KPUD dan DPRD. Salah satunya DPRD menganggap
KPUD dengan mudah begitu mudah menggeser tahapan pilkada tanpa berkonsultasi
terlebih dahulu dengan dewan perwakilan rakyat daerah.
2. Masalah responsifitas KPUD. Secara kelembagaan KPUD dipandang sangat lamban
merspons dan mengelola isu-isu lokal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pilkada. Sehingga berbagai masyarakat menuntut KPUD yang bekerja teknokratis
bekerja sesuai dengan konteks dan kebutuhan daerah itu sendiri.
3. Masalah efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pilkada. Efektivitas
berkaitan dengan penyelnggaraan pilkada yang cenderung mengejar waktu tanpa
mempertimbangkan pentingnya pembelajaran demokrasi bagi masyarakat ditingkat
lokal.
4. Transparansi pengelolaan keuangan atau anggaran pilkada oleh KPUD. Selama
penyelenggaraan pilkada banyak kasus yang menjerat KPUD terkait masalah hukum.
Hal ini terjadi karena ketidak transparanan KPUD dalam pengelolaan anggaran
pilkada. (gregorius sahdan, 2009).
2. Maraknya Politik
Uang
Benar atau tidak, isu politik uang
dalam pemilihan kepala daerah tidak dapat terelakkan lagi. Pasalnya dari
berbagai media massa memberitakan betapa maraknya politik uang yang
dipraktikkan para kandidat yang bertarung dalam pilkada. Salah satunya kompas.com
yang dipostkan pada senin 12 april 2010, memberitakan “ politik uang
mewarnai pilkada Kebumen”, bahwa ; “ pemungutan suara pemilihan umum bupati
kebumen, minggu (11/4), marak dengan politik uang. Sejumlah warga mengaku
memperoleh uang dari beberapa pasangan calon bupati. Panitia pengawas pemilu
kebumen pun menemukan praktik politik uang di 10 kecamatan dari 26 kecamatan di
kebumen dengan barang bukti lebih dari Rp. 1 juta”.
Hal tersebut diatas memberikan kita
peringatan bahwa pilkada langsung secara demokrtis yang diharapkan menghasilkan
pemimpin daerah yang berintegritas tinggi,bermoral dan berakhlak mulia. Tidak
dapat terwujudkan, karena para kandidat saat bertarung saja sudah tidak
menggunakan cara yang sportif. Kondisi ini akan memungkinkan terjadinya berbagai
penyimpangan bupati terpilih nantinya, jika pengeluarannya saat kampanye sangat
banyak. Untuk mengetahui modus politik uang yang terjadi di kabupaten kebumen –
Jawa Tengah, yang menjadi salah contoh dalam kasus ini. Maka dapat kita simak
kutipan berita pers berikut ini.
Terkait politik uang, Setia Suprapto
(40), dari Desa Sirnoboyo, Kecamatan Bonorowo, mengaku diberi uang sebesar Rp
5.000 oleh tim pendukung salah satu pasangan calon. Selain uang, ia juga diberi
"kartu pintar" yang memuat gambar pasangan calon tersebut dengan
tujuan agar ia memilih pasangan calon yang dimuat dalam kartu tersebut.
(kompas.com/Senin, 12 April 2010).
Dari kutipan tersebut diatas dapa kita
tarik menjadi sebuah analisis bahwa, politik uang tidak hanya dikatgorikan
politik uang dalam bentuk tunai saja. Melainkan juga berupa instrumen lain,
seperti “kartu pintar” yang telah dijelaskan diatas. Ini menandakan bahwa modus
politik uang bisa hadir dalam bentuk atau wujud apapun, bahkan mungkin
sumbangan keagamaan, seperti karpet untuk mesjid dan sebagainya.
Berbicara mengenai politik uang bukan
lagi hal yang asing dipraktekkan di indonesia. Bahkan Safitri Endah Winarti
menyebutnya “budaya politik uang”, (widyohari, 2006 ; 85). Namun, saya secara
pribadi tidak setuju dengan penggunaan ungkapan “budaya politik uang”, karena
menyebut Budaya berarti erat kaitannya dengan cipta, rasa dan karsa. Namun ini
dalam konotasi yang negatif. Untuk kata budaya politik uang, saya lebih senang
mengungkapkannya dengan istilah “politik uang yang membudaya”,.
Politik uang yang telah membudaya di indonesia,
mengindikasikan pilkada langsung yang diharapkan mematngkan demokrasi lokal,
ternyata tidak terealisasi dengan baik sesuai dengan konsep pilkada itu
sendiri. Kegagalan demokrasi lokal ini tidak lain karena disebabkan,
1.
Dorongan ekonomis ; masyarakat indonesia
yang mayoritas masih dibawah garis kemiskinan sangat rentan terhadap praktek
politik uang. Bahkan para kandidat yang bersaing memperoleh tingkat teratas
didaerah telah menjadikan masyarakat ekonomi lemah sebagai target dari praktek
ini. Seperti pemberian uang, sembako, dan kebutuhan praktis lainya yang
memungkinkan dapat menarik dukungan suara dari masyarakat.
2. Rendahnya kesadaran politik masyarakat ; tingkat kesadaran politik
masyarakat yang masih rendah memungkinkan adanya politik uang. Hal ini terjadi
karena pendidikan politik bagi masyarakat masih minim, juga ditengarai minimnya
sosialisasi dari partai politik, yang merupakan wadah bagi partisipasi
masyarakat.
3.
Ambisi tinggi politisi untuk memenangkan
pilkada ; karena begitu “nafsu”nya para kandidat untuk memperoleh kekuasaan,
maka mereka melupakan etika dalam politik, bahkan sengaja melanggar aturan
pilkada demi kepentingan pragmatis.
Apa yang terjadi dari pembahasan diatas
merupakan persoalan klasik yang tak pernah terpecahkan dari praktek politik di
negara ini, apalagi bila itu telah “membudaya” maka sangatlah sulit untuk
mengubahnya menjadi baik, kecuali dari dalam diri setiap aktor-aktor.
3. Besarnya Biaya
Pilkada.
Untuk mewujudkan impian menjadi
kandidat kepala daerah, hingga resmi menjadi kandidat calon kepala daerah. Para
kandidat dihadapkan pada biaya pilkada yang cukup banyak. Sebab setiap kandidat
diharuskan membiayai segala bentuk kepentingan politik.
Bahkan ada ungkapan bahwa kandidat yang
memiliki dan mengeluarkan uang paling banyak maka dialah yang menjadi pemenang
dalam pilkada. Disis dapat kit lihat betapa besarnya peran kapital itu dalam
pemenangan pilkada. Ada tiga faktor yang dibebankan pada kandidat calon yang
berkompetisi dalam pesta demokrasi ini, diantaranya ;
1. setiap calon
kepala daerah harus membayar partai politik yang akan dijadikan sebagai
kendaraan politik. Sebab partai politik yang ingin mengusung mewajibkan
menyetor dana sumbangan kepada partai.
2. biaya yang
dibutuhkan para kandidat dalam kampanye sangat banyak. Misalnya untuk pembuatan
poster, fanplet, kostum dan instrumen kampanye lainnya.
3. politik uang
demi memperoleh dukungan masyarakat. Praktek politik uang seperti yang telah
dibahas didepan merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan pilkada. Dan
banyak dilakukan menjelang pemungutan suara, yang biasa disebut serangan fajar.
Tiga bentuk pengeluaran uang diatas,
baru sebatas pada kandidat calon yang berkompetisi. Selain pengeluaran lagsung
yang dibebani pada kandidat kepala daerah, namun negara juga turut merogok
kocek uang negara demi suksesnya pemilihan langsung kepala daerah yang
terselenggara ini. Tanggungjawab negara berkaitan dengan penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah secara langsung, merupakan wujud nyata dari upaya
penerapan demokrasi lokal. Namun perlu kita ketahui, bahwa pilkada langsung
tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam kondisi seperti ini,
demokrasi harus dibayar mahal bila ingin penyelenggarakan demokrasi prosedural.
Keterlibatan negara dalam pilkada,
diantaranya meteri dalam negeri moh. Ma’ruf pada tahun 2005, mengajukan
anggaran untuk biaya operasinal kepada menteri keuangan sebesar Rp. 1,225
triliun. Selain menteri dalam negeri, kepala kepolisian republik indonesia
(Kapolri), mengajukan uang operasi keamanan pilkada. Dan juga ditopang oleh
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Kwik Kian Gie, seorang ekonom indonesia
pernah berkata dalam tatap muka “satu jam bersama kwik kian gie”. Mengatakan
; “ dalam melakukan demokrasi langsung harus berani mengeluarkan biaya
demokrasi, sebab demokrasi itu mahal harganya”. Dari ungkapan seorang ekonom
ini melegitimasi, bagaimana faktor ekonomi sanagat mempengaruhi kondisi politik
di tanah air. Apa yang diwacanakan pak Gie, telah terbukti dengan berbagai
bentuk pengeluaran biaya pilkada seperti yang telah dibahas dalam pembahasan
awal.
4. Konflik dan
kekerasan pilkada
Dalam penyelenggaraan pilkada langsung
selama tahun 2005 hingga tahun 2008. Banyak kasus dan konfilik kekerasan
politik yang menjadi kenangan pilkada. Yaitu :
1.
Masalahnya terletak pada internal partai politik
yang bersaing dalam pilkada. Seperti yang terjadi dibali beberapa waktu lalu,
dimana calon kepala daearah yang telah diputuskan di DPD PDI-IP, ternyata
ditolak oleh megawati dan memilih kandidat lain versi pusat. Keputusan ini
menimbulkan konflik internal, bahkan dalam masyarakat pendukung fanatik PDI-IP.
2.
Konflik antara KPUD dan partai politik
pengusung calon kepala daerah. Konflik kedua institusi ini banyak terjadi
diberbagai daerah berkaitan dengan pendaftaran dan penetapan calon kepala
daerah.pengunduran pemungutan suara dalam pilkada, distribusi logistik yang
kurang efisien, hingga ketidak independenan KPUD dalam penyelenggaraan pilkada.
Dari keempat bentuk permasalahan serius
yang saya kemukakan diatas belum mampu mewakili berbagai bentuk tantangan
lainnya, namun secara garis besar, saya yakin apa yang dipaparkan diatas
merupakan akumulasi dari berbagai masalah-masalah kecil lainnya yang merintangi
penyelenggaraan demokrasi lokal di indonesia.
3. Dampak Positif Pilkada Langsung
Terlepas dari kompleksnya permasalahan
yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah selama
ini. Disisi lain, pemilihan langsung kepala daerah juga mengadirkan dampak
politik yang sangat bermakna demi berkembangnya demokrasi ditingkat lokal. Dan
penguatan serta membangkitkan partisipasi masyarakat dalam rangka penguatan
demokrasi ditingkat lokal.
Dalam perspektif desentralisasi dan
demokrasi prosedural - formal, system pemilihan kepala daerah secara langsung
(Pilkada Langsung) yang diterapkan selama ini merupakan sebuah inovasi yang
bermakna dalam proses konsolidasi demokrasi di tingkatan lokal. Setidaknya,
sistem Pilkada Langsung memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sistem
rekrutmen politik yang ditawarkan oleh model sentralistik “ala orde baru”
melalui UU no. 5 Tahun 1974 atau model demokrasi perwakilan yang digagas
melalui Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999.
Namun dengan direvisinya UU nomor 22 tahun 1999
dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004. Secara normatif Pilkada Langsung
menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman
dan perluasan demokrasi lokal. Bahkan masyarakat telah menjadi pilar utama
dalam penyelenggaraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu perlu kita paparkan
berbagai aspek positif dari pilkada langsung yang terjadi selama ini, seperti
yang berikut ini.
Adapun dampak positif yang diakibatkan undang-undang
nomor 32 tahun 2004 antara lain ;
1. Partisipasi
langsung masyarakat
Sistem demokrasi langsung melalui
Pemilihan kepala daerah secara Langsung akan membuka ruang partisipasi yang
lebih luas bagi masyarakat dalam proses demokrasi dan menentukkan kepemimpinan
politik di tingkat lokal. Hal ini agak lebih baik dibandingkan sistem
demokrasi perwakilan yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan
rekrutmen politik ditangan segelitir orang di dewan perwakilan rakyat daerah
yang bersifat Oligarkis.
2. Pemilihan kepala
daerah langsung memungkinkan adanya kompetisi
Dari sisi kompetisi politik, Pilkada Langsung
memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat-kandidat yang
bersaing serta memungkinkan masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang
yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam
demokrasi perwakilan. Pilkada Langsung bisa memberikan sejumlah harapan pada
upaya pembalikan “syndrome” dalam demokrasi perwakilan yang ditandai dengan
model kompetisi yang tidak fair, seperti; praktek politik bagi-bagi kekuasaan
dan politik uang yang berlaku ditingkatan elite.
3. Adanya pendidikan
politik bagi masyarakat
Sistem pemilihan langsung akan memberi
peluang bagi warga untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik
tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik-seperti yang
kasat mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui konsep
demokrasi langsung, warga di tingkat lokal akan mendapatkan kesempatan untuk
memperoleh semacam pendidikan politik; training kepemimpinan politik dan
sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan politik.
4. Berubahnya perhatian
pemimpin kepada rakyat
Pilkada Langsung memperbesar harapan
untuk mendapatkan figure pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate.
Karena, melalui Pilkada Langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih
berorientasi pada warga dibandingkan pada segelitir elite di DPRD. Dengan
demikian, Pilkada mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan peningkatan
kualitas tanggungjawab pemerintah daerah pada warganya yang pada akhirnya akan
mendekatkan kepala daerah dengan masyarakarat-warganya.
5. Melahirkan
pemimpin yang legitimatif
Kepala daerah yang terpilih melalui
Pilkada akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun
perimbangan kekuatan (check and balances) di daerah; antara kepala daerah
dengan DPRD. Perimbangan kekuatan ini akan meminimalisasi penyalahgunaan
kekuasaan seperti yang muncul dalam format politik yang monolitik. AA GN Ari
Dwipayana (2005).
6. Masyarakat
mengenal pilihannya
Dengan adanya pilkada langsung, masyarakat akan lebih
mengenal secara dekat calon pemimpinnya, melalui kampanye politik kandidat yang
berkompetisi akan memberikan pemahaman akan visi-misi para kandidat yang
kompetisi. Sehingga melahirkan seorang pemimpin yang sesuai dengan kehendak
rakyat.
Selain dari sisi positif yang telah
diutarakan diatas, kita dapat menambahkan beberapa keunggulan lain dari
pemilihan kepala daerah secara langsung seperti yang dikemukakan, Mukiono
berikut ini ;
1. Penarikan
kedaulatan yang dititipkan pada DPRD.
Sebelum terjadinya pemilihan langsung
kepala daerah oleh masyarakat, kedaulatan rakyat itu diwakili oleh dewan
perwakilan rakyat daerah (DPRD). Dewan perwakilan rakyat daerah sesuai
undang-undang nomor 22 tahun 1999 merupakan representsi dari rakyat untuk
memilih kepala daerah. Namun dengan adanya perubahan ini, maka dewan perwakilan
rakyat daerah ( DPRD) hanya menjalankan fungsi legislasi ( pembuat perda),
anggaran (bubgedting), dan pengawasan ( control).
2. Sumber
kekuasaan adalah rakyat
Dengan adanya pemilihan langsung oleh
rakyat, maka dengan sendirinya kepala daerah merupakan seorang pemimpin yang
merupakan integral dari masyarakat, lain halnya yang dipilih oleh DPRD yang
merupakan elite politik karena merupakan integral dari DPRD. Intinya, kekuasaan
yang dimiliki seorang kepala daerah bersumber dari masyarakat sebagai pemilih
dan penentu kepala daerah.
3. Rakyat menjadi
subject demokrasi
Dalam hal ini, masyarakat yang selama
ini hanya sebagai pemilih akan memiliki hak untuk mencalonkan diri sebagai
kepala daerah. Hak warga untuk memilih dan dipilih merupakan bagian terpenting
dari negara demokrasi. tentunya dalam mencalonkan diri memerlukan mekanisme
berupa kapasitas, kapabilitas, moralitas dan integritegritas sebagaimana
tuntutan kedudukan jabatan tersebut.
4. Hak politik perempuan
Selama ini fenomena politik yang
terjadi di indonesia, khususnya ditingkat lokal yang sangat kental dengan
budaya patrimonial. Kandidat kepala daerah dari kalangan perempuan sangat
jarang ditemukan atau mungkin nyaris tidak ada. Fenomena ini berkaitan dengan
pemhaman politik masyarakat lokalmasih jauh dari yang diharapkan. Namun, dengan
adanya pilkada langsung ini, sedikit tidaknya membawa dampak perubahan
pandangan politik dalam masyarakat di daerah. Pasalnya, dengan dalih kesetaraan
dalam bidang politik kandidat perempuanpun kian diperhitungkan.
5. Banyaknya pilihan
dalam pilkada
Dalam UUD 1945 telah ditegaskan bahwa,
semua warga negara memiliki hak dan kedudukan yang sama. Hal ini berkaitan
dengan hak warga untuk memilih dan dipilih menjadi pemimpin. Otonomi daerah
yang ditandai dengan penyelenggaraan pilkada langsung, akan mengundang
partisipasi masyarakat. Bahkan memunculkan partai-partai politik lokal
yang turut meramaikan pilkada.
6. Pelajaran politik
bagi masyarakat lokal
Hal yang terpenting dari misi
desentralisasi politik dan otonomi daerah, kaitannya dengan pilkada secara
langsung adalah ; memberikan pendidikan politik bagi masyarakat lokal.
Masyarakat yang selama ini cenderung apatis terhadap dinamika politik lokal
bahkan politik nasional, diharapkan mampu berkonstribusi dalam pematangan
demokrasi lokal.
Dari pemaparan diatas dapat kita
katakan bahwa, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung,
terlepas dari berbagai kekurangannya (secara prosedural) sangat berdampak
positif terhadap perkembangan demokrasi di inonesia, khususnya partisipasi
masyarakat dalam proses pemilihan kepala daerah. Yang lebih penting adalah
beralihnya perhatian dari para pimpinan elite lokal yang cenderung lebih
mementingkan wakil rakyat dibanding rakyatnya.
BAB III
PENUTUPAN
Dalam rangka melaksanakan pemerintahan
yang efektif dan efisien, keberadaan pemerintahan lokal sangat dibutuhkan.
Pemerintahan lokal sangat strategis untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
melayani hingga pada pelosok desa. Salah satunya, penyelenggaraan pemilihan
langsung kepala daerah merupakan terobosan baru untuk terbentuknya pemerintahan
yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan rakyat di daerah, bukan lagi hasil
dari konspirasi politik elite lokal atau bentuk kepentingan pemerintah pusat
yang memiliki kepentingan di daerah.
Dari pembahasan diatas dapat penulis
simpulkan bahwa ; setelah dilakukannya reformasi tahnun 1998, posisi daerah
sedikit banyak telah menghadirkan perubahan yang sangat berarti. Hal ini dapat
kita lihat dari lahirnya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah, yang salah satunya mengamanatkan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh
dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Dalam undang-undang ini menganut sistem
perwakilan. Setalah dipraktekkan selama satu periode, kembali direvisi dengan
undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yang memberikan
peluang masyarakat untuk memilih secara langsung bupati/walikota. Dalam
undang-undang ini menganut sistem pemilihan langsung.
Namun sesuai dengan pembahasan kita
diawal, lahirnya kedua regulasi diatas ternyata belum sanggup membawa daerah
untuk ematangkan demokrasi ditingkat loka. Bahkan dalam undang-undang nomor 32
tahun 2004, yang menganut demokrasi langsung. DPRD dan partai politik tetap saja menjadi aktor
utama dalam pemilihan bupati / walikota.
Sebabnya, pemilihan kepala daerah
memang dilakukan secara langsung, tetapi pasangan calon harus diusulkan partai
politik atau koalisi dari berbagai partai di DPRD. Artinya, dalih untuk
mengembalikan kedaulatan ditangan rakyat, tetapi malah melahirkan kekuasaan
elite-elite lokal. Akibatnya, dengan besarnya kekuasaan partai politik dalam
pemilihan kepala daerah akan mengakibatkan tujuan desentralisasi politik dan
otonomi daerah untuk rakyat bergeser menjadi kekuasaan para elite lokal.
Maka dapat dikatakan bahwa kemenangan seorang
kandidat dalam pemilihan langsung kepala daerah, adalah kemenangan partai
pengusung dan koalisinya. Bukan lagi kemenangan masyarakat sebagai pemilih. Tak
salah jika Iwan fals dalam lirik lagunya “memilih para juara”. Sebab seorang
juara lahir dari hasil kompetisi yang diberi nilai oleh para juri.
Akhirnya saya menutupi dengan subuah analogi yang
menggambarkan proses pilkada langsung selama ini. Pemenang dalam pilkada
layaknya seorang petinju yang juara karena mendapat nilai banyak dari para juri
dan yang turut merayakannya adalah para managementnya. Dalam konteks
pemilihan langsung kepala daerah, para juri adalah masyarakatnya, pemenang
adalah kandidatnya yang terrpilih, serta yang turut merasakan kegembiraan
adalah partai pengusung dan koalisinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar